PENGINJILAN KONTEKSTUAL


1.      Pengertian
Istilah konteks digunakan dalam arti yang berbeda-beda. Dalam hermeneutika, istilah konteks mengacu pada kalimat-kalimat yang menyertai suatu bagian Alkitab sebelumnya dan sesudahnya (konteks dekat dan jauh). Dalam hermeneutika, konteks juga dapat dipakai dengan arti kiasan (konteks historis) yang mengacu pada situasi kondisi tertentu yang di dalamnya suatu kitab disusun. Konteks dalam arti umum mengacu pada seluruh situasi kondisi dunia yang dihadapi manusia (seluruh segi kehidupan di sekitar dan di dalam diri kita). Arti inilah yang merupakan latar belakang istilah kontekstualisasi.
Dalam ilmu teologi, kontekstualisasi berarti kegiatan atau proses penggabungan amanat Alkitab dengan situasi kondisi kita. Dalam kontekstualisasi, diperlukan adanya kesadaran mengenai kekayaan tradisi budaya dan menekankan pengaruh modernisasi serta hubungan-hubungan antar budaya dalam kerangka perjuangan demi mewujudkan keadilan dan damai sejahtera. Kata kontekstualisasi berasal dari kata dasar konteks, yang artinya kondisi di mana suatu keadaan terjadi.Dari sudut bahasa, konteks adalah gagasan yang digunakan dalam ilmu bahasa (linguistik, sosiolinguistik, linguistik fungsional sistemik, analisi wacana, pragmatik, semiotika) dalam dua cara yang berbeda, yakni lisan konteks dan konteks sosial. Kontekstualisasi dapat merujuk pada tiga hal, yakni kontekstualisasi (Alkitab terjemahan) atau proses penyampaian pesan Alkitab (Amanat Agung); kedua, kontekstualisasi (sosiallinguistik), penggunaan bahasa dan wacana sebagai aspek yang relevan dari situasi interaksional atau komunikatif; contextualism, koleksi pandangan dalam filsafat yang menyatakan bahwa tindakan hanya dapat dipahami dalam konteks. Kontekstualisasi berarti mengkomunikasikan injil dalam hal tepat untuk dimengerti oleh jemaat. Dalam bidang penerjemahan Alkitab dan interpretasi, kontekstualisasi adalah proses untuk menempatkan makna sebagai alat menafsirkan lingkungan di mana teks atau tindakan dijalankan. Kontekstualisasi diadopsi oleh gereja presbiterian di AS oleh pertemuan para ulama dalam dana pendidikan teologi.
Kontekstualisasi pertama kali muncul dalam terbitan TEF (Theological Education Fund atau Dana Pendidikan Teologi) pada tahun 1972. Kontekstualisasi bukanlah semata-mata mode atau sebuah semboyan, melainkan suatu kebutuhan teologis yang dituntut oleh sifat Firman Tuhan yang telah menjadi daging di dunia. Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah “pempribumian”, namun lebih dalam dari pada itu. Kontekstuaalisasi tidak mengabaikan konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan perjuangan manusia  demi keadilan. Teologi tidak lain dan tidak bukan adalah mempertemukan secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara teks dan konteks, antara kerygma yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Teologi juga adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman Kristiani pada konteks ruang dan waktu yang tertentu.
Kontekstualisasi bersifat dinamis bukan statis. Kontektualisasi mengakui sifat terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan terjadinya perubahan, hingga membuka jalan bagi masa depan. Kontektualisasi tidak menyiratkan isolasi bangsa-bangsa dan budaya-budaya. Berkaitan dengan hal ini, maka kontekstualisasi berarti bahwa  kemungkinan-kemungkinan pembaruan harus pertama-tama dirasakan pada tempatnya masing-masing dalam tiap situasi, namun selalu dalam kerangka kesaling-tergantungan pada masa kini yang mengikat masalah-masalah masa lalu dan masa kini pada kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Kontekstualisasi pada akhirnya membantu solidaritas semua orang dalam ketaatan kepada Tuhan yang sama (dilihat dari dasar injil). Jadi kontektualisasi menjadi ciri utama refleksi teologis yang autentik.
Dengan adanya teologi kontekstual memperlihatkan kepada kita bahwa adanya penghargaan terhadap agama-agama suku. Teologi ini menekankan keprihatinannya atas berbagai prinsip penafsiran, yakni penafsiran iman Kristen dalam situasi lintas-budaya tetapi tetap berakar pada Alkitab. Teologi kontekstual menekankan perhatiannya kepada kepedulian penuh terhadap kebudayaan sebagai acuan berteologi dan artinya bagi dunia dan bagi cara pandang masyarakat, mengutamakan juga penekanan Alkitab (perpaduan pengungkapan relasi antara pandangan dunia alkitabiah dan pandangan dunia kebudayaan non-Barat). Selain itu, teologi kontekstual juga berusaha mengakar-ulangkan iman Kristen ke dalam setiap kebudayaan dan merumuskan kembali teologi Kristen ke dalam cara berpikir dari setiap kebudayaan atau dengan kata lain teologi kontekstual menitik-beratkan apa maksud Allah dalam suatu konteks budaya dan sejarah tertentu.

2.  Makna Kontekstualisasi
Dari hal di atas kita dapat melihat makna dari teologi kontekstual, yakni teologi kontekstual dengan sungguh-sungguh sangat memperhatikan konteks sejarah dan budaya di mana seorang hidup dan berkarya. Teologi kontekstual harus mampu menafsir dan membangun, artinya bahwa tidak hanya ada jawaban-jawaban teologis yang tradisional yang dapat dipahami dengan cara yang berbeda, tetapi ada berbagai pertanyaan yang berbeda dalam setiap budaya.
3.        Hakikat Kontekstualisasi
Kontekstualisasi menekankan keprihatinan menurut tempat dan situasinya masing-masing, memperoleh kekuatan dasarnya dari Injil yang dimaksudkan bagi semua orang. Jadi, kontekstualisasi pada akhirnya membantu solidaritas semua orang dalam ketaatan kepada Tuhan yang sama. Dalam hal ini, kontekstualisasi mencegah agar amanat Alkitab tidak dibelenggu dan ditaklukkan oleh konteks.
4.         Faktor-faktor yang menimbulkan/menuntut kontekstualisasi.
a)      Dominasi Budaya
Kesadaran bahwa misi barat bukan saja membawa Injil, melainkan juga menuntut adopsi budaya barat dalam proses misi mereka.
b)      Teologi Barat yang Tidak Relevan
Istilahnya, agenda dan program yang dimasak di luar negeri telah disadari tidak cocok untuk situasi lain. Kegagalan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak ditanyakan di dunia ketiga.
c)      Gerakan-Gerakan Nasionalisme
Kemerdekaan dari imperialisme dan kolonialisme negara-negara barat sekaligus membawa akibat nasionalisasi lembaga-lembaga, termasuk gereja.


d)      Contoh-Contoh Alkitab
Kisah Para Rasul 15, Yerusalem mengusulkan kontekstualisasi trans-suku dengan menganjurkan agar orang-orang non-Yahudi menghindari praktik-praktik yang menghalangi terjangkaunya orang-orang Yahudi oleh Injil.

KESIMPULAN
Kontekstualisasi bukan untuk menghilangkan kebudayaan-kebudayaan yang ada tetapi, memakainya sebagai jalan masuk untuk Pekabaran Injil. Seperti apa yang Yesus pesankan kepada kita dalam Matius 28 :19-20, pengikut-pengikut Kristus bertanggung jawab untuk menjadikan semua bangsa muridNya. Hal ini bukan berarti mengkristenkan semua orang namun dengan cara hidup kita setiap orang dapat belajar melakukan kehendak Tuhan. Berteologi tanpa konteks adalah teologi yang mati.

0 Response to "PENGINJILAN KONTEKSTUAL"

Posting Komentar